Kamis, 12 April 2012

KONSEP PRAGMATIK DAN RUANG LINGKUPNYA


              Sejarah Pragmatik
Proses masuknya pragmatik ke dalam studi linguistik tergolong cukup lama. Proses ini dimulai ketika Chomsky menemukan titik pusat dari sintaksis. Namun sebagai seorang strukturalis tulen, Chomsky masih menganggap bahwa makna terlalu rumit untuk dipikirkan secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, selanjutnya pada tahun 1960-an Katz, Fodor dan Postal berhasil menemukan cara untuk memasukkan makna ke dalam teori linguistik yang formal. Disusul Lakoff (1971) yang kemudian berargumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi penggunaan bahasa. Sejak saat itulah pragmatik mulai masuk ke dalam ranah linguistic tetapi masih samar.
Seiring dengan perkembangan linguistik yang semakin luas, ternyata menyebabkan perubahan pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik. Perubahan tersebut menyebabkan kaum strukturalis Amerika mencoba menarik keluar masalah “makna” dari bidangnya itu. Namun semenjak Chomsky mulai menerima ketaksaan dan sinonim sebagai salah satu data linguistik yang dasariah, maka telah terbuka pintu studi semantik. Selanjutnya semantik ini dikembangkan oleh murid Chomsky dan akhirnya ditemukan bahwa ternyata sulit memisahkan antara makna dari konteks, karena setiap makna itu berbeda dengan konteks yang satu ke yang lain. Hal ini berakibat semantik masuk ke dalam pragmatik.
Melihat kenyataan seperti itu, kaum semantik generatif berusaha keras untuk bisa menemukan batasan yang jelas antara semantik dan pragmatik dalam arti yang luas. Sedangkan Chomsky membuat batasan yang sempit yang dikenal dengan Teori Kompetensi. Kompetensi  yang dimaksud disini merupakan sistem abstrak suatu bahasa (gramatikal) yang jika dikuasai memungkinkan seseorang dapat menggunakan bahasa itu (langue). Di sisi lain, sosiolinguistik dan psikolinguistik menolak teori tersebut. Sosiolinguistik menolak abstraksi Chomsky tentang penutur atau petutur yang ideal, Psikolinguistik di sini menjelaskan kemampuan bahasa pada manusia dengan menekankan pada model “proses”. Mereka menolak teori kompetensi karena pemikiran Chomsky yang memisahkan antara teori linguistik dengan proses psikologis.
Selain sosiolinguitik dan psikolinguistik, linguistik teks dan analisis wacana pun juga menolak teori kompetensi Chomsky. Linguistik teks menolak bahwa suatu teori linguistik tidak bisa membatasi diri pada tataran kalimat, begitu pula analisis percakapan menekankan bahwa studi bahasa dimensi utamanya adalah dimensi sosial.
Ancangan-ancangan di atas, ternyata mengakibatkan perubahan besar dalam linguistik. Terjadi pergeseran dari “kompetensi” ke arah “performasi”. Performasi merupakan tindak berbahasa (nyata) yang didasarkan pada competence dan dipengaruhi oleh faktor non lingustik: situasi, topik, partisipan, dll. (parole). Dikotomi Chomsky tentang kompetensi dan performasi inilah yang menjadi pusat perselisihan antara semantik dan pragmatik mengenai garis batas bidang-bidangnya.
            
            Pengertian Pragmatik
Istilah pragmatik pertama kali muncul ketika seorang filosof Charles Morris (1938) mencoba mengolah kembali pemikiran para filosof pendahulunya (Locke dan Pierce), mengenai ilmu tanda atau semiotik (semiotics). Dikatakan oleh Morris (melalui Nadar, 2009:2) bahwa semiotik memiliki tiga cabang kajian, yaitu sintaksis (syntax), semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacunya, sedangkan pragmatik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan pengguna bahasa.

Berdasarkan trikotomi di atas, didapatkan pengertian pragmatik sebagai berikut:
a.       Pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasikan atau terkodifikasikan dalam struktur bahasa (“Pragmatics is study of those relation between laanguage and context that grammaticalized, or encoded in the structure of language”). (Levinson, melalui Nadar, 2009:4)
b.      Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan secara langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan. (“Pragmatics has as its topic those aspect of the meaning of utterances which cannot be accounted for by straightforward reference ti the truth conditions of the sentences uttered”). (searle, Kiefer & Bierwich, melalui Nadar, 2009:5)
c.       Pragmatik adalah kajian antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur wacana. (“Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presuposisi speech act and aspects of discourse structure). (Gazdar, melalui Nadar, 2009:5)
d.      Pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. (Wijana,1996:2)

Dari beberapa pendapat di atas, terdapat kesamaan bahwa aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian pragmatik adalah bahasa kaitannya dengan konteks.
      Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan telaah penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan. Keterlibatan konteks dalam interpretasi makna inilah yang membedakan semantik dengan pragmatik. Semantik mengkaji makna bebas konteks, sedangkan pragmatik terikat konteks.


           Perbedaan Pragmatik dan Semantik
Di sini, pragmatik mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Dikatakan demikian karena kedua cabang ilmu tersebut sama-sama mempelajari tentang makna. Tetapi hakikatnya terdapat perbedaan antara kajian pragmatik dan semantik. Perbedaan tersebut terletak pada pengunaan verba to mean (berarti). (Leech, 1993:8)

     Contoh :

(1)   What does X mean? (apa artinya X)
(2)   What did you mean by X? (apa maksudmu dengan X)

Dari contoh di atas dapat diartikan bahwa kalimat pada contoh (1), makna diperlakukan sebagai suatu hubungan yang hanya melibatkan dua segi (dyadic), dan perlakuan semacam itu masuk ke dalam kajian semantik. Sedangkan untuk contoh (2) makna diperlakukan sebagai suatu hubungan yang melibakan tiga segi (triadic) dan ketika makna sudah melibatkan tiga sendi maka pragmatiklah yang menjadi bidang analisisnya.

Berikut gambar untuk memperjelas penjabaran contoh di atas.


Semantik (dyadic)

Gambar 1
                                         






Pragmatik (triadic)
Gambar 2


 








Dari gambar (1) di atas, terlihat jelas bahwa dalam semantik, makna terpisah dari konteks tuturannya. Makna dapat langsung diartikan tanpa harus melihat siapa penuturnya, apa yang dituturkannya tetapi disini makna dapat langsung diartikan cukup dengan memperhatikan bentuknya saja. Sedangkan dalam pragmatik (gambar 2) makna tidak akan bisa terpisah dari konteks, dan bentuknya. Dalam pragmatik, tujuan komunikasilah yang paling penting dan tujuan ini tidak akan dapat tercapai apabila tidak mengkaitkan konteks tuturannya.
      Selain Leech, para ahli seperti Purwo (1990), dan Wijana (1996) juga mengemukakan pendapatnya. Wijana (1996: 6) mengemukakan bahwa semantik sebagai salah satu cabang (linguistik mengkaji makna bahasa (linguistik meaning, linguistik sense) secara internal, sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna penutur (speaker meaning, speaker sense) yang bersifat eksternal. Sedangkan Purwo (1990:16) mengatakan bahwa semantik adalah telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Pada dasarnya, semantik menelaah makna kata atau klausa tetapi makna yang bebas konteks (context-independent), sedangkan pragmatik menelaah makna yang terikat konteks (context-independent).
  
 Berdasarkan banyaknya pendapat tentang perbedaan antara semantik dan  pragmatik, dapat ditarik kesimpulan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji makna ujaran yang terkait situasi ujar atau dengan kata lain pragmatik merupakan telaah penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan.
  
Hubungan Pragmatik dengan Bidang Kebahasaan Lainnya
Pragmatik sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang juga mengkaji bahasa dan faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah filsafat bahasa, sosiolinguistik antropologi, dan linguistik – terutama analisa wacana (discourse analysis) dan toeri deiksis. Dari filsafat bahasa pragmatik mempelajari tindak tutur (speech act) dan conversational implicature. Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi bahasa, kemampuan komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik mempelajari etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari linguistik dan analisa wacana dibicarakan lebih dalam pada bagian-bagian selanjutnya.

            Ruang Lingkup Pragmatik
Ruang Lingkup pragmatik sebagai bidang tersendiri dalam ilmu bahasa adalah deiksis, implikatur percakapan, praanggapan, dan tindak ujaran. Pokok kajian pragmatik tersebut akan diulas di bawah ini.
a.      Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dengan kata lain adalah bahwa kata  Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan. Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap.
Contoh, ketika seorang siswa yang mendapati tulisan di sebuah bus jurusan Unesa, yang bertuliskan hari ini bayar, besok gratis. Demikian pula di dalam sebuah warung makan di sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker yang bertuliskan Hari ini bayar, besok boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir mikrolet di hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di depan para pengunjung warung makannya.
Deiksis dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time), tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social) (Levinson, dalam Nadar, 2009:53).

b.      Implikatur Percakapan
      Implikatur percakapan merupakan salah satu ide yang sangat penting dalam pragmatik. Implikatur percakapan pada dasarnya merupakan suatu teori yang sifatnya inferensial, suatu teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, keterkaitan makna suatu tuturan yang tidak terungkapkan secara literal pada tuturan itu. Brown menjelaskan,

“Implicature means what a speaker can imply, suggest, or mean, as
distinct from what the speaker literally says”.
Implikatur percakapan berarti apa yang diimplikasikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur tidak terungkapkan secara literal dalam tuturannya.
      Menurut Levinson (melalui Nadar, 2009: 61), menyebutkan implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik (”one of the single most important ideas in pragmatik”). Salah satu alasan penting yang diberikannya adalah bahwa implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan ”provides some explicit account of how it is possible to mean more than what is actually said”

Contoh :
Budi                : “Can you tell me the time?
Jatmiko            : “ Well, the milkman has come”.

Jawaban dari pertanyaan di atas nampaknya tidak relevan dengan permintaan Budi tentang waktu, namun Jatmiko sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu secara tepat pada saat itu pukul berapa. Dia berharap penanya dapat memperkiraka waktunya sendiri dengan mengatakan bahwa tukang susu sudah datang. Dalam konteks ini, nampaknya penutur dan lawan tutur sama-sama sudah mengetahui pukul berapa tukang susu biasanya datang.

c.       Praanggapan
      Jika suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, ikut turut serta pula tambahan makna yang tidak dinyatakan tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat itu. Pengertian inilah yang dimaksud dengan praanggapan. Kalimat yang dituturkan dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya karena pengungkapannya yang salah melainkan juga karena praanggapannya yang salah.
Contoh :
A: What about inviting John tonight?
B: What a good idea; then he can give Monica a lift
Praanggapan yang terdapat dalam percakapan di atas antara lain adalah (1) Bahwa A dan B kenal dengan John dan Monica, (2) bahwa John memiliki kendaraan – kemungkinan besar mobil, dan (3) bahwa Monica tidak memiliki kendaraan saat ini.

d.      Tindak Ujaran
      Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu. Austin secara khusus mengemukakan bahwa tuturan-tuturan tidak semata-mata hendak mengkomunikasikan suatu informasi, melainkan meminta suatu tindakan atau perbuatan.
Contoh :
Bilamana seseorang mengatakan, misalnya: “Saya minta maaf”; “Saya berjanji”; artinya, permintaan maaf dilakukan pada saat orang itu minta maaf dan bukannya sebelumnya. Janji atau kedatangannya kelak harus dipenuhi, dan bukannya sekarang ini.    

      Dalam menganalisis tindak ujaran atau tuturan, dikaji tentang efek-efek tuturan terhadap tingkah laku pembicara dan lawan bicaranya. Austin membedakan adanya tiga jenis efek tindak tuturan, yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi mengacu pada makna literal, makna dasar, atau makna referensial yang terkandung dalam tuturan. Tindakan yang dilakukan sebagai akibat dari suatu tuturan disebut tindak ilokusi. Dalam hal ini, tindak ilokusi berarti “to say is to do”. Tindak perlokusi mengacu pada efek atau pengaruh suatu tuturan terhadap pendengar atau lawan bicara.



DAFTAR PUSTAKA

Brown, Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Person Education

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. (Terj. Dr. M.D.D. Oka). Jakarta: UI Press.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Purwo, Bambang K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Senin, 30 Januari 2012


LATAR PSIKOLOGIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Konsep Belajar
Belajar adalah proses psikologi yang dilakukan secara sadar dan  merupakan cerminan instropeksi diri akan rasa kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri si pembelajar. Bisa dikatakan demikian karena kenyataan orang akan belajar jika dia merasa tidak tahu dan ada dorongan rasa ingin tahu. Begitu pula sebaliknya, orang tidak akan belajar kalau dia sudah tahu dan merasa cukup tahu akan pengetahuannya. Pengertian ini adalah logika berpikir sederhana penulis berdasarkan kenyataan.


Pembelajaran vs Pemerolehan
Pembelajaran dan pemerolehan sangatlah berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada unsur kesengajaan dalam melakukan kegiatannya. Dalam kegiatan pemerolehan, pembelajar dimulai dengan unsur ketidaksengajaan. Pembelajar melakukan kegiatan  memungut” (picking it up), yaitu mengembangkan kemampuan berbahasa dalam situasi komunikatif alamiah, sebagaimana contoh: anak-anak memperoleh bahasa pertama (B1) dan (dimungkinkan pula) B2 mereka. Sedangkan dalam kegiatan pembelajaran dilakukan dengan sengaja dalam rangka mengembangkan kemampuan yang sudah didapat dalam tahapan “pemerolehan” tadi. Secara ringkas kegiatan pembelajaran adalah fase lanjutan dari kegiatan pemerolehan.


Bakat Bahasa dan Tujuan Pembelajaran
Berbicara bakat, sepertinya akan berbicara tentang anggapan faktor genetic yang sulit untuk diubah. Banyak orang yang gagal dalam melakukan atau belajar sesuatu, dan sangat puas ketika dikatakan tidak berbakat. Sebagai contoh: mahasiswa sudah bertahun-tahun belajar bahasa Inggris tetapi selalu gagal. Disimpulkan bahwa mahasiswa tersebut tidak berbakat untuk belajar bahasa inggris. Apakah demikian? Hakikat bakat itu sebenarnya memang hasil pembawaan lahir, tetapi konsep tersebut bukan konsep final. Bakat bisa dibentuk dan ditumbuhkembangkan dengan motode banyak berlatih. Ada pepatah jawa yang mengatakan “Iso Mergo Kulino”. Kulino yang dimaksud dalam hal ini adalah kebiasaan dengan didasri dengan motivasi dan kemauan yang keras. Begitu juga dengan bakat bahasa. Bakat bahasa dapat dibentuk dan ditingkatkan melalui latihan serta diimbangi dengan motivasi dan kesempatan. Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bakat bahasa memang merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pembelajaran bahasa tetapi bukan merupakan key factor. Masih banyak faktor lain seperti latihan, motivasi dan kesempatan.

Selasa, 17 Januari 2012


TEORI MARXISME DAN APLIKASINYA DALAM KAJIAN SASTRA

Budi Jatmiko

A. PENDAHULUAN
Marxisme atau komunisme lahir dari konteks masyarakat industri Eropa. Revolusi industry di Eropa pada abad-19, menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat. Kesenjangan ini terjadi antara kaum borjuis ( pemilik modal ) dengan kaum proletat, kaum petani miskin dengan para tuan tanah, warload dan kapitalis (negara Cina). Kondisi-kondisi dan kemungkinan-kemungkinan teknis sudah berkembang dan merubah proses produksi industrial, tetapi struktur organisasi proses produksi dan struktur masyarakat masih bertahan pada tingkat lama yang ditentukan oleh kepentingan-kepentingan kelas atas. Jadi, banyak orang yang dibutuhkan untuk bekerja, tetapi hanya sedikit yang mengemudikan  proses produksi dan mendapat keuntungan. Karena maksud  kerja manusia yang sebenarnya adalah menguasai alam sendiri dan merealisasikan cita-cita dirinya sendiri, sehingga terjadi keterasingan manusia dari harkatnya dan dari buah atau hasil kerjanya.
Melihat  keadaan seperti itu, membuat beberapa tokoh  seperti Karl Marx dan Jurgen Habermas (neo-marxisme) melakukan kritik melalui pemikiran untuk merubah keadaan tersebut. Di bawah ini akan dibahas tentang tokoh marxis dan konsep pemikirannya serta aplikasi dalam kajian sastra.

B. TOKOH-TOKOH MARXISME

1.    KARL HEINRICH MARX 
(Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – London, 14 Maret 1883)
Karl Marx lahir dalam keluarga Yahudi progresif di Trier, Prusia, (sekarang di Jerman). Ayahnya bernama Herschel Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl. Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835. Marx tertarik untuk belajar kesustraan dan filosofi, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena ia tak percaya bahwa anaknya akan berhasil memotivasi dirinya sendiri untuk mendapatkan gelar sarjana.
Pada tahun berikutnya, ayahnya memaksa Karl Marx untuk pindah ke universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universität di Berlin. Pada saat itulah ia mengenal filsafat atheis yang dianut kelompok Hegelian-kiri. Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dengan tesis nya yang berjudul ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’ namun, ia harus menyerahkan disertasinya ke Universitas Jena karena Marx menyadari bahwa status nya sebagai Young Hegelian radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin. Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakan nya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) : ” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.”
Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan  negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat (kaum paling bawah di negara Romawi). Marx merupakan kaum terpelajar dan  politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme. Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional.
Dalam hidupnya,Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti, ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal.

2) MAO ZEDONG  (CINA)
Lahir di sebuah keluarga petani miskin, sejak kecil Mao harus bekerja keras dan hidup prihatin. Meskipun di kemudian hari keadaan ekonomi keluarganya meningkat, tetapi kesengsaraan di masa kecil itu banyak mempengaruhi kehidupannya kelak. Ketika kecil, Mao dikirim untuk belajar di sekolah dasar. Pendidikannya sewaktu kecil juga mencakup ajaran-ajaran klasik Konfusianisme. Pada tahun 1905, ia mengikuti ujian negara yang pada saat itu mulai menghapus paham-paham konfusianisme lama; digantikan oleh pendidikan gaya Barat.  
Hal ini menandakan permulaan ketidakpastian intelektual di Cina. Pada tahun 1911, Mao terlibat dalam Revolusi Xinhai yang merupakan revolusi melawan Dinasti Qing yang berakibat kepada runtuhnya kekaisaran Cina yang sudah berkuasa lebih 2000 tahun sejak tahun 221 SM. Pada tahun 1918 ia lulus dan lalu kuliah di Universitas Beijing. Di sana ia akan berjumpa dengan para pendiri PKT yang berhaluan Marxis. Mao mendirikan  partai pada tahun 1921 dan Mao semakin hari semakin vokal. Antara tahun 1934 – 1935 ia memegang peran utama dan memimpin Tentara Merah Cina menjalani “Mars Panjang”. Lalu semenjak tahun 1937  ia ikut menolong memerangi Tentara Dai Nippon yang menduduki banyak wilayah Cina. Dalam perang yang melawan kaum nasionalis , Mao menjadi pemimpin kaum  Merah dan akhirnya ia menangkan pada tahun 1949.
Pada tanggal 1 Oktober tahun 1949, Republik Rakyat Cina diproklamasikan dan pemimpin Cina nasionalis; Chiang Kai Shek melarikan diri ke Taiwan. Dalam PKT Mao sendiri sejak tahun 1943 adalah ketua sekretariat partai dan Politbiro tetapi sebenarnya ia mengontrol seluruh partai sampai ia mati pada tahun 1976. Kepemimpinan mungkin tidak kejam secara vulgar seperti Stalin tetapi kekerasan kebijakannya dan kelakuannya yang semau dirinya sendiri membawa rakyat Cina terpuruk ke dalam kehancuran dan kesengsaraan yang luar biasa.

3) ERICH SELIGMAN FROMM.
Erich Fromm lahir pada tanggal 23 Maret 1900, di Frankfurt Am main. Erich adalah seorang terkenal internasional psikolog sosial, psiokoanalis, humanistic filsuf, dan demokrasi sosialis. Ia memulai studi akademis pada tahun 1918 di University of Frankfurt am Main dengan dua semester dari yurispredensi. Pada tahun 1919 musim panas, Fromm belajar di Universitas Heidelberg, di mana Ia beralih dari yurispudensi untuk belajar sosiologi di bawah pimpinan Alfred Weber ( adik Max Weber), dan Heinrich Rickert Fromm mendapatkan gelar Ph D dalam sosiologi dari Heidelberg pada tahun 1922. Pada tahun 1930, Ia bergabung dengan Frankfurt institut penelitian sosial dan menyelesaikan pelatihan psikoanalitis. Pada tahun 1934, Fromm pindah ke Janewa, kemudian ke Universitas Columbia di New York.
Pada tahun 1943 Dia meninggalkan Columbia, Fromm membantu membentuk cabang New York dari Washington School of Psychiatry, dan pada tahun 1946 bersama-sama mendirikan Alanso William White Institut of Psychiatry, Psikoanalisis, dan Psikologi.
Pada tahun 1950-an Fromm pindah ke Meksiko,  di Meksiko Dia menjadi professor di Universitas Otonom Nasional Meksiko dan membentuk bagian Psikoanalitik di sekolah kedokteran. Ia mengajar di UNAM hingga pension pada tahun 1965.
Pada tahun 1974 Ia pindah ke Muralto ( Lcarno ), Swiss, dan meninggal di rumahnya pada tahun 1980. Lima hari sebelum Ia meninggal, Fromm mempertahankan praktik klinis sendiri dan menerbitkan serangkaian buku. Fromm percaya bahwa kebebasab adalah salah satu aspek sifat manusia bahwa kita dapat menerima atau melarikan diri. Dia juga mengamati menganut kebebasan kita akan sehat, sedangkan kebebasan melarikan diri melalui penggunaan mekanisme, melarikan diri adalah akar dari konflik psikologis. Melarikan diri ada tiga mekanisme yang di uraikan Fromm adalah robot kesesuaian, otoritarianisme, dan merusak, robot sesuai dengan merubah diri ideal seseorang untuk apa yang dianggap sebagai jenis yang disukai masyarakat kepribadian, kehilangan seseorang yang sejati. Penggunaan sesuai memindahkan beban pilihan dari diri sendiri kepada masyarakat. Otoriterisme adalah membiarkan diri dikendalikan oleh orang lain. Hal ini menghilangkan kebebasan memilih hampir seluruhnya dengan mengirim kebebasan kepada orang lain. Terakhir, destruktif adalah setiap proses yang mencoba untuk menghilangkan orang lain atau dunia secara keseluruhan untuk menghindari kebebasan. Fromm mengatakan bahwa kehancuran dunia adalah yang terakhir hampir putus asa mencoba menyelamatkan diri agar tidak hancur oleh itu ( 1941 ).
C. KONSEP-KONSEP PEMIKIRAN

1.    KARL HEINRICH MARX
Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan  masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari.
Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial. Konsep Marx tentang lahirnya masyarakat tanpa kelas dinilai utopis. Hal ini terutama dihadapkan pada dimensi kodrati manusia yang lahir dengan kekhasan dan keberagaman dalam segala hal, termasuk dalam tinjauan kelas-kelas sosial. Namun, preperensi tersebut justru menjadi inspirasi bagi manusia untuk memaknai hidupnya sebagai sebuah perjuangan, perjuangan untuk memperbaiki nasib, untuk hidup yang lebih baik. Permasalahan tidak berhenti pada adanya kelas sosial ansich, akan tetapi ide Marx yang humanis ingin menggugah kesadaran manusia tentang kehidupannya, tidak menyerah kepada nasib dan dogma agama sekalipun.
Mengembalikan kesadaran manusia untuk memaknai hidupnya adalah inti dari pemikiran Marx. Sistem kapitalisme telah membawa alam kesadaran para buruh pada kondisi keterasingan (alienasi).
Menurut Marx ada empat aspek utama yang membuat kita teralienasikan dari kerja kita di bawah kapitalisme, yakni:
1)        Pertama, alienasi dari produk terlihat dari pola pekerja yang memproduksi sebuah objek namun tidak berkuasa untuk menggunakan atau memiliki obyek tersebut.
2)        Kedua, alienasi dari aktivitas produksi.
Menurut Marx, pembagian kerja kapitalis yang secara tipikal telah membawa pekerja pada degradasi keahlian (deskilling), setiap individu direduksi hanya pada satu  tugas yang repetitif dan tidak perlu memakai otak, mereka tidak beda dengan mesin, diprogram untuk membuat gerakan yang sama berulang-ulang.
3)        Ketiga, alienasi dari esensi-spesies.
Marx berpendapat bahwa di bawah kapitalisme, mayoritas perkerja tidak dapat menikmati ciri-ciri khas manusiawinya. Mereka berproduksi setengah hari mempertaruhkan seluruh kemampuan didorong untuk dan dari bekerja. Bagi Marx para pekerja baru merasa menjadi manusia ketika mereka tidak bekerja.
4)        Keempat, bekerja dengan jam kerja yang panjang, para buruh sangat susah memperoleh waktu untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan terkadang waktu untuk keluarga pun tereduksi oleh pekerjaan. Bahkan  menurut Marx, kita hanya menganggap diri kita hanyalah orang yang pergi bekerja untuk mendapatkan uang, kemudian pergi ke toko dan menghabiskannya,  pada titik ekstrem mengarahkan kita menjadi masyarakat konsumtif.

Dialektika pemikiran Marx dalam menggugat kapitalisme, tidak hanya berhenti pada konsep kerja dan alienasi, Marx mengemukakan dua postulat yang utama,
1)   pertama, determinisme ekonomi, yang menyatakan faktor ekonomi adalah penentu fundamental bagi struktur dan perubahan masyarakat.
2)   kedua, menyentuh mekanisme perubahan (change), yang menurut pandangan Marx, perubahan sosial itu harus dipahami dalam arti tiga fase atau tahap yang selalu tampak.
Tiga tahapan tersebut merupakan skema dialektik, yang idenya dipinjam dari seorang filsuf Jerman, George Hegel (1770-1831). (1) tesis (affirmation); (2) antitesis (negation), dan (3) sintesis (reconciliation of oppsites).

Ketimpangan hubungan  ekonomi (determinisme ekonomi) bagi Marx telah menjadi faktor penting dalam  menata sturktur dan  perubahan masyarakat. Tambahan  mengenai mekanisme perubahan meliputi tiga fase (tesis, antitesis, dan sintesis) yang ia kutip dari Hegel, semakin menguatkan gagasannya mewujudkan masyarakat tanpa kelas, sebagai sebuah sintesis antara sistem feodal dan kapitalisme.
Visi Marx untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas merupakan gambaran praksis dari ide dasar materialisme sosialisnya. Sistem feodal yang tergantikan oleh sistem kapitalis telah membawa perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial. Marx yakin suatu saat, kapitalisme akan  menemui kehancuran dan melahirkan sintesis, komunis sebagai ideologi kekuatan baru, masyarakat tanpa kelas.

2) MAO ZEDONG
Mao banyak berpikir tentang materialisme dialektik yang menjadi dasar sosialisme dan penerapan gagasan-gagasan ini dalam praktek.  Konsep falsafi Mao yang terpenting adalah konflik.  Menurutnya: “Konflik bersifat semesta dan absolute. Hal ini ada dalam  proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula sampai akhir”. Mao jadi berpendapat bahwa semua konflik bersifat semesta dan absolut,  jadi dengan kata lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada kemiripannya dengan konsep falsafi  yin-yang. Semuanya terdengar seperti sebuah dogma kepercayaan.
Di bawah ini disajikan sebuah cuplikan tentang pemikirannya tentang konflik. Konsep Mao kedua yang penting adalah konsepnya mengenai pengetahuan yang juga ia ambil dari paham  Marxisme. Mao berpendapat bahwa pengetahuan merupakan lanjutan dari pengalaman di alam fisik dan bahwa pengalaman itu sama dengan keterlibatan.



Mao membedakan dua jenis konflik;
1)      konflik antagonis
Konflik antagonis menurutnya hanya bisa dipecahkan dengan sebuah pertempuran saja. Menurut Mao konflik antara para buruh dan pekerja dengan kaum kapitalis adalah sebuah konflik antagonis
2)      konflik non-antagonis.
konflik non-antagonis bisa dipecahkan dengan sebuah diskusi.
sedangkan  konflik antara rakyat Cina dengan Partai adalah sebuah  konflik non-antagonis.

3) ERICH SELIGMAN FROMM
Fromm percaya bahwa kebebasan adalah salah satu aspek sifat manusia bahwa kita dapat menerima atau melarikan diri. Dia juga mengamati menganut kebebasan kita akan sehat, sedangkan kebebasan melarikan diri melalui penggunaan mekanisme, melarikan diri adalah akar dari konflik psikologis. Melarikan diri ada tiga mekanisme yang diuraikan Fromm adalah
(1)  Robot kesesuaian,
Robot sesuai dengan merubah diri ideal seseorang untuk apa yang dianggap sebagai jenis yang disukai masyarakat kepribadian, kehilangan seseorang yang sejati. Penggunaan sesuai memindahkan beban pilihan dari diri sendiri kepada masyarakat.
(2)  Otoritarianisme,
Otoriterisme adalah membiarkan diri dikendalikan oleh orang lain. Hal ini menghilangkan kebebasan memilih hampir seluruhnya dengan mengirim kebebasan kepada orang lain.
(3)  Merusak,
destruktif adalah setiap proses yang mencoba untuk menghilangkan orang lain atau dunia secara keseluruhan untuk menghindari kebebasan. Fromm mengatakan bahwa kehancuran dunia adalah yang terakhir hampir putus asa mencoba menyelamatkan diri agar tidak hancur oleh itu ( 1941 )

D. CONTOH PENERAPAN MARXISME DALAM KARYA SASTRA PUISI

Di bawah ini adalah contoh penerapan marxisme dalam puisi berjudul  Kau pun Tahu  karya Acep Zamzam Noor

Kau pun Tahu

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam pengembaraanku
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam setiap ucapanku
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kritik-kritik yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam puisi-puisiku
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak
Tak jelas maunya apa

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Dalam doa-doaku
Aku sembahyang di comberan
Menjalani hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang kupuja
Seperti juga para pemimpin itu –
Semuanya tak bisa dipercaya

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Di negeriku yang busuk ini
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga tertawa dan menangis
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya pada kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan

Dalam puisi di atas, terdapat lima pengulangan kritik ‘cinta’ yang diawali frase ‘tak ada lagi’ sebagai bentuk penegasian sempurna. Ini tentunya menyiratkan penekanan bahwa ‘cinta’ sebagai suatu konsep abstrak dimaknai sebagai suatu fakta kongkrit yang tadinya ada dan hadir dalam realitas sosial, kini telah hilang karena berbagai masalah yang melingkupi realitas itu. Di sini kemudian ditemukan empat realitas yang dikategorikan bermasalah karena hilangnya ‘cinta’: realitas alam  (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam pengembaraanku—bait pertama); realitas bahasa (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam setiap ucapanku—bait kedua) dan (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam puisi-puisiku—bait ketiga); realitas keagamaan/religiusitas (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Dalam doa-doaku—bait keempat); dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara (Kau pun tahu, tak ada lagi cinta/ Di negeriku yang busuk ini—bait kelima).
Acep Zamzam sengaja memilih diksi ‘cinta’ yang dapat dimaknai sebagai bentuk ideologi tandingan, yang seharusnya ada dan selalu hadir dalam setiap realitas. Dalam perspektif Marxis, hal ini menunjukan adanya hubungan yang realistis antara teks dengan konteks.

Hasil Analisis
·                     Bait pertama, penggunaan diksi kongkrit justru memunculkan penafsiran metaforis tentang rusaknya alam: kritik ‘jurang’ merupakan metafor dari kematian/kerusakan.
·                     Di bait kedua dan ketiga, kita juga di suguhi unsur metafor yang justru berasal dari diksi kongkrit, i.e. kritik-kritik ……./ Seperti bunyi senapan; maklumat-maklumat yang ditulis ……../ Dengan kasar, yang menunjukan bahwa ‘cinta’ (sopan-santun) dalam berbahasa sudah hilang.
·                     Bait Keempat merupakan puncak transformasi makna ‘cinta’ menjadi sebuah kritik sosial. Ini karena terlihat  ada relevansi yang jelas antara Acep Zamzam sebagai seorang penyair yang notabene putera seorang ulama besar dengan konsep keagamaan yang dia yakini, atau yang dalam perspektif Marxis disebut authorial ideology. Dalam bait keempat ini kita bisa melihat kritik sosial yang bernuansa relijius—yang ditransformasi dari authorial ideology-nya Acep Zamzam—bahwa ternyata hilangnya ‘cinta’ (toleransi dan kedamaian) membuat agama sudah kehilangan arah, karena tidak ada lagi keyakinan dan teladan yang dapat diikuti: Aku sembahyang di comberan/ Menjalani hidup tanpa keyakinan ………. Seperti juga pemimpin-pemimpin itu/ Semuanya tak bisa dipercaya.
·                     Pada bait kelima, makna ‘cinta’ kemudian ditransformasikan menjadi prinsip politik yang luhur (demokrasi, kejujuran). Namun, keluhuran ini sudah terkikis habis karena kejujuran sudah tidak menjadi dasar murni politik: Pidato dan kentut sulit dibedakan ……., sehingga yang muncul kemudian adalah para badut politik yang ingin disebut pahlawan, padahal mereka tertidur lelap dalam kebusukan mereka sendiri. Bait inilah yang kemudian dapat disebut sebagai antiklimaks; sebuah proses transformasi makna ‘cinta’ melalui frase ‘tak ada lagi cinta’, yang semuanya berujung pada makna kehancuran dan kerusakan realitas sosial. Dilihat dari perspektif Marxis, di sini sekali lagi Acep Zamzam mencoba menghadirkan ‘cinta’ sebagai ‘ideologi’ yang menandingi ideologi bangsa yang sudah carut marut.

Dalam hal ini, puisi Acep Zamzam di atas layak disebut puisi ideologis, yang menghadirkan wacana dan makna kritik ‘cinta’ sebagai sebuah ideologi untuk mengkritik realitas sosial yang ada. Dan untuk konteks sekarang, Indonesia memang sudah kehilangan makna kritik ‘cinta’ yang sebenar-benarnya.

E. PENUTUP
 Teori Marxisme adalah  teori yang memunculkan adanya wacana untuk menyamakan status social dan ekonomi antara  kaum  proletar dengan kaum borjuis. Secara garis besar dari ketiga pendapat tokoh  di atas,  inti teorinya adalah menginginkan adanya kebebasan sebebas-bebasnya untuk kaum proletar agar bisa menjadi manusia yang seutuhnya.  
Dampak positif dan negatif akan  muncul dari penerapan teori  marxisme ini. Dampak positifnya adalah adanya kesetaraan status social, dimana kesempatan  kaum  marginal (proletar) untuk memenuhi keinginan  hidupnya dan hak kemanusiaannya akan terbuka sangat lebar, selain itu kesempatan untuk memperbaiki taraf  hidup dalam hal ekonomi juga akan terbuka lebar. Tetapi akan   muncul juga adanya kondisi masyarakat materialis yang egois-sentris.

DAFTAR PUSTAKA

Engels. 2006. Tentang Kapital Marx. Bandung:Akatiga


Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian. Yogyakarta: Kreasi Wacana