Sejarah Pragmatik
Proses
masuknya pragmatik ke dalam studi linguistik tergolong cukup lama. Proses ini
dimulai ketika Chomsky menemukan titik pusat dari sintaksis. Namun sebagai
seorang strukturalis tulen, Chomsky masih menganggap bahwa makna terlalu rumit
untuk dipikirkan secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, selanjutnya pada
tahun 1960-an Katz, Fodor dan Postal berhasil menemukan cara untuk memasukkan
makna ke dalam teori linguistik yang formal. Disusul Lakoff (1971) yang
kemudian berargumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari studi
penggunaan bahasa. Sejak saat itulah pragmatik mulai masuk ke dalam ranah
linguistic tetapi masih samar.
Seiring
dengan perkembangan linguistik yang semakin luas, ternyata menyebabkan
perubahan pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik. Perubahan
tersebut menyebabkan kaum strukturalis Amerika mencoba menarik keluar masalah
“makna” dari bidangnya itu. Namun semenjak Chomsky mulai menerima ketaksaan dan
sinonim sebagai salah satu data linguistik yang dasariah, maka telah terbuka
pintu studi semantik. Selanjutnya semantik ini dikembangkan oleh murid Chomsky
dan akhirnya ditemukan bahwa ternyata sulit memisahkan antara makna dari
konteks, karena setiap makna itu berbeda dengan konteks yang satu ke yang lain.
Hal ini berakibat semantik masuk ke dalam pragmatik.
Melihat
kenyataan seperti itu, kaum semantik generatif berusaha keras untuk bisa
menemukan batasan yang jelas antara semantik dan pragmatik dalam arti yang
luas. Sedangkan Chomsky membuat batasan yang sempit yang dikenal dengan Teori Kompetensi. Kompetensi yang dimaksud
disini merupakan sistem abstrak suatu bahasa (gramatikal) yang jika dikuasai
memungkinkan seseorang dapat menggunakan bahasa itu (langue). Di sisi
lain, sosiolinguistik dan psikolinguistik menolak teori tersebut.
Sosiolinguistik menolak abstraksi Chomsky tentang penutur atau petutur yang
ideal, Psikolinguistik di sini menjelaskan kemampuan bahasa pada manusia dengan
menekankan pada model “proses”. Mereka menolak teori kompetensi karena
pemikiran Chomsky yang memisahkan antara teori linguistik dengan proses
psikologis.
Selain
sosiolinguitik dan psikolinguistik, linguistik teks dan analisis wacana pun
juga menolak teori kompetensi Chomsky. Linguistik teks menolak bahwa suatu
teori linguistik tidak bisa membatasi diri pada tataran kalimat, begitu pula
analisis percakapan menekankan bahwa studi bahasa dimensi utamanya adalah
dimensi sosial.
Ancangan-ancangan
di atas, ternyata mengakibatkan perubahan besar dalam linguistik. Terjadi
pergeseran dari “kompetensi” ke arah “performasi”. Performasi merupakan
tindak berbahasa (nyata) yang didasarkan pada competence dan dipengaruhi
oleh faktor non lingustik: situasi, topik, partisipan, dll. (parole).
Dikotomi Chomsky tentang kompetensi dan performasi inilah yang menjadi pusat
perselisihan antara semantik dan pragmatik mengenai garis batas
bidang-bidangnya.
Pengertian
Pragmatik
Istilah pragmatik pertama kali muncul ketika seorang filosof
Charles Morris (1938) mencoba mengolah kembali pemikiran para filosof
pendahulunya (Locke dan Pierce), mengenai ilmu tanda atau semiotik (semiotics).
Dikatakan oleh Morris (melalui Nadar, 2009:2) bahwa semiotik memiliki tiga cabang
kajian, yaitu sintaksis (syntax), semantik (semantics), dan
pragmatik (pragmatics). Sintaksis adalah cabang semiotika
yang mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik adalah cabang
semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacunya, sedangkan
pragmatik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan pengguna
bahasa.
Berdasarkan
trikotomi di atas, didapatkan pengertian pragmatik sebagai berikut:
a. Pragmatik
adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasikan
atau terkodifikasikan dalam struktur bahasa (“Pragmatics is study of those relation between laanguage and context
that grammaticalized, or encoded in the structure of language”). (Levinson,
melalui Nadar, 2009:4)
b. Topik
pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan secara
langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan. (“Pragmatics has as its topic those aspect of
the meaning of utterances which cannot be accounted for by straightforward
reference ti the truth conditions of the sentences uttered”). (searle,
Kiefer & Bierwich, melalui Nadar, 2009:5)
c. Pragmatik
adalah kajian antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak
tutur dan aspek-aspek struktur wacana. (“Pragmatics
is the study of deixis (at least in part), implicature, presuposisi speech act
and aspects of discourse structure). (Gazdar, melalui Nadar, 2009:5)
d. Pragmatik
mengkaji makna yang terikat konteks. (Wijana,1996:2)
Dari beberapa pendapat di atas,
terdapat kesamaan bahwa aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian
pragmatik adalah bahasa kaitannya dengan konteks.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan telaah penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak
komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan. Keterlibatan konteks dalam interpretasi makna inilah yang membedakan
semantik dengan pragmatik. Semantik mengkaji makna bebas konteks, sedangkan
pragmatik terikat konteks.
Perbedaan
Pragmatik dan Semantik
Di
sini, pragmatik mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Dikatakan demikian
karena kedua cabang ilmu tersebut sama-sama mempelajari tentang makna. Tetapi
hakikatnya terdapat perbedaan antara kajian pragmatik dan semantik. Perbedaan
tersebut terletak pada pengunaan verba to mean (berarti). (Leech, 1993:8)
Contoh :
(1)
What does X mean? (apa artinya X)
(2)
What did you mean by X? (apa maksudmu
dengan X)
Dari contoh di
atas dapat diartikan bahwa kalimat pada contoh (1), makna diperlakukan sebagai
suatu hubungan yang hanya melibatkan dua segi (dyadic), dan perlakuan semacam itu masuk ke dalam kajian semantik.
Sedangkan untuk contoh (2) makna diperlakukan sebagai suatu hubungan yang
melibakan tiga segi (triadic) dan ketika
makna sudah melibatkan tiga sendi maka pragmatiklah yang menjadi bidang
analisisnya.
Berikut gambar
untuk memperjelas penjabaran contoh di atas.
Semantik (dyadic)

Pragmatik (triadic)
Gambar 2
![]() |
Dari
gambar (1) di atas, terlihat jelas bahwa dalam semantik, makna terpisah dari
konteks tuturannya. Makna dapat langsung diartikan tanpa harus melihat siapa
penuturnya, apa yang dituturkannya tetapi disini makna dapat langsung diartikan
cukup dengan memperhatikan bentuknya saja. Sedangkan dalam pragmatik (gambar 2)
makna tidak akan bisa terpisah dari konteks, dan bentuknya. Dalam pragmatik,
tujuan komunikasilah yang paling penting dan tujuan ini tidak akan dapat tercapai
apabila tidak mengkaitkan konteks tuturannya.
Selain Leech, para ahli seperti Purwo (1990),
dan Wijana (1996) juga mengemukakan pendapatnya. Wijana (1996: 6) mengemukakan bahwa semantik sebagai salah
satu cabang (linguistik mengkaji makna bahasa (linguistik meaning, linguistik
sense) secara internal, sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari makna penutur (speaker meaning, speaker sense) yang bersifat
eksternal. Sedangkan Purwo (1990:16) mengatakan bahwa semantik adalah
telaah makna kalimat (sentence), sedangkan pragmatik adalah telaah makna
tuturan (utterance). Pada dasarnya, semantik menelaah makna kata atau
klausa tetapi makna yang bebas konteks (context-independent), sedangkan
pragmatik menelaah makna yang terikat konteks (context-independent).
Berdasarkan banyaknya pendapat tentang
perbedaan antara semantik dan pragmatik,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang
mengkaji makna ujaran yang terkait situasi ujar atau dengan kata lain pragmatik merupakan telaah penggunaan bahasa
untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan
keadaan pembicaraan.
Hubungan Pragmatik dengan Bidang Kebahasaan Lainnya
Pragmatik
sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang juga mengkaji bahasa dan
faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah
filsafat bahasa, sosiolinguistik antropologi, dan linguistik – terutama analisa
wacana (discourse analysis) dan toeri deiksis. Dari filsafat bahasa
pragmatik mempelajari tindak tutur (speech act) dan conversational
implicature. Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi bahasa,
kemampuan komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik
mempelajari etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari
linguistik dan analisa wacana dibicarakan lebih dalam pada bagian-bagian
selanjutnya.
Ruang
Lingkup Pragmatik
Ruang Lingkup pragmatik
sebagai bidang tersendiri dalam ilmu bahasa adalah deiksis, implikatur
percakapan, praanggapan, dan tindak ujaran. Pokok kajian pragmatik tersebut
akan diulas di bawah ini.
a. Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata
atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan
konteks pembicaraan. Dengan kata lain adalah bahwa kata Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak
memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal.
Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang
mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di
ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula,
kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan.
Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda
halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang
mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang
jelas dan tetap.
Contoh, ketika seorang siswa yang mendapati tulisan di
sebuah bus jurusan Unesa, yang bertuliskan hari ini bayar, besok gratis.
Demikian pula di dalam sebuah warung makan di sekitar tempat kos mahasiswa,
dijumpai sticker yang bertuliskan Hari ini bayar, besok boleh
ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas memiliki arti hanya apabila diujarkan
oleh sopir mikrolet di hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan
di depan para pengunjung warung makannya.
Deiksis dapat
di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time),
tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social)
(Levinson, dalam Nadar, 2009:53).
b. Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan merupakan salah
satu ide yang sangat penting dalam pragmatik. Implikatur percakapan pada
dasarnya merupakan suatu teori yang sifatnya inferensial, suatu teori
tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, keterkaitan makna suatu tuturan
yang tidak terungkapkan secara literal pada tuturan itu. Brown menjelaskan,
“Implicature means what
a speaker can imply, suggest, or mean, as
distinct from what the
speaker literally says”.
Implikatur percakapan
berarti apa yang diimplikasikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur
tidak terungkapkan secara literal dalam tuturannya.
Menurut Levinson (melalui Nadar, 2009:
61), menyebutkan implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran
terpenting dalam pragmatik (”one of the
single most important ideas in pragmatik”). Salah satu alasan penting yang
diberikannya adalah bahwa implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara
bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan ”provides some explicit account of how it is
possible to mean more than what is actually said”
Contoh :
Budi : “Can you tell me the time?
Jatmiko : “ Well, the milkman has come”.
Jawaban dari pertanyaan
di atas nampaknya tidak relevan dengan permintaan Budi tentang waktu, namun Jatmiko
sebenarnya ingin mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu secara tepat
pada saat itu pukul berapa. Dia berharap penanya dapat memperkiraka waktunya
sendiri dengan mengatakan bahwa tukang susu sudah datang. Dalam konteks ini,
nampaknya penutur dan lawan tutur sama-sama sudah mengetahui pukul berapa tukang
susu biasanya datang.
c. Praanggapan
Jika suatu kalimat diucapkan, selain dari
makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, ikut turut serta pula
tambahan makna yang tidak dinyatakan tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat
itu. Pengertian inilah yang dimaksud dengan praanggapan. Kalimat yang dituturkan
dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya karena pengungkapannya yang
salah melainkan juga karena praanggapannya yang salah.
Contoh :
A: What about inviting John tonight?
B: What a good idea; then he can
give Monica a lift
Praanggapan
yang terdapat dalam percakapan di atas antara lain adalah (1) Bahwa A dan B
kenal dengan John dan Monica, (2) bahwa John memiliki kendaraan – kemungkinan
besar mobil, dan (3) bahwa Monica tidak memiliki kendaraan saat ini.
d. Tindak Ujaran
Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah
melakukan sesuatu. Austin secara khusus mengemukakan bahwa tuturan-tuturan
tidak semata-mata hendak mengkomunikasikan suatu informasi, melainkan meminta
suatu tindakan atau perbuatan.
Contoh :
Bilamana seseorang
mengatakan, misalnya: “Saya minta maaf”; “Saya berjanji”; artinya, permintaan
maaf dilakukan pada saat orang itu minta maaf dan bukannya sebelumnya. Janji
atau kedatangannya kelak harus dipenuhi, dan bukannya sekarang ini.
Dalam menganalisis tindak ujaran atau
tuturan, dikaji tentang efek-efek tuturan terhadap tingkah laku pembicara dan
lawan bicaranya. Austin membedakan adanya tiga jenis efek tindak tuturan,
yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi
mengacu pada makna literal, makna dasar, atau makna referensial yang terkandung
dalam tuturan. Tindakan yang dilakukan sebagai akibat dari suatu tuturan
disebut tindak ilokusi. Dalam hal ini, tindak ilokusi berarti “to say is to
do”. Tindak perlokusi mengacu pada efek atau pengaruh suatu tuturan
terhadap pendengar atau lawan bicara.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta:
Person Education
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. (Terj.
Dr. M.D.D. Oka). Jakarta: UI Press.
Nadar,
F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian
Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Purwo, Bambang K. 1990. Pragmatik
dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Wijana,
I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.